Berikut adalah penjelasan Ibu Novi Riandini dari HMHI Pusat tentang kontroversi SK. Menkes RI tentang Koate yang nomor SK nya memang belum ada (baru draft kali ya ...., tapi sudah haangat diperdebatkan). Menyambung/Menyikap i permasalahan SK Menkes RI. Seperti yang sudah saya jelaskan, di HMHI Pusat tengah mencoba beraudiensi langsung denga Ibu MenKes RI. Dan menurut sektretariatnya yang saya terima teleponnya 2 minggu lalu, beliau menyatakan bahwa audiensi tersebut akan didisposisikan untuk bertemu dengan DirJen. Akan tetapi Bapak Dirjen hingga saat ini belum memberikan waktu untuk bertemu.
Mungkin semua ini terkesan lambat. Perlu diketahui, saat sedang ramai-ramainya Koate di perdebatkan, tidak ada satu pihakpun yang dapat memperlihatkan kepada kami bagaimana isi dari SK tersebut dan seperti apa isi dari petunjuk pelaksanaan yang diributkan. Karena setelah mendapat info langsung dari pihak DepKes, SK Tersebut belum dipukul Gongnya. Prof. Moeslichan tentu saja tidak dapat gegabah untuk melancarkan protes seperti yang semua inginkan. Hitam diatas putih kita belum miliki. Dalam bertindak beliau tentu saja harus berfikir panjang dan tidak ingin nantinya bila kita terlalu vokal malah akhirnya menyulitkan hemofilia satu negara. Baru setelah kami memiliki print outnya, kami baru berani mengirim surat audiensi.
Pada saat surat dikirimkan pun, Prof. Djajadiman telah menjelaskan kepada saya bahwa memang terjadi kesalaha pahaman anatara menteri dan jajaran dibawahnya. Menteri sendiri tidak menyetujui banyak obat yang notabene 'lifesaving'
dihapuskan dalam daftar yang dapat di klaim oleh ASKESKIN. Jadi, Menkes langsung memerintahkan untuk merubah/menambahkan /mempertimbangka n kembali tabel yang telah dikeluarkan (mungkin bisa dibaca di Media Indonesia hari sabtu tgl 7 juli. Dan yang saya dengar langsung dari orang-orang DepKes, obat-obatan tersebut untuk sementara dapat diklaim melalui ASKESKIN (termasuk Koate) dengan persetujuan dan kebijaksanaan pihak RS. Pihak RS akan mendapatkan subsidi atas klaim tersebut dari DepKes yang dananya disalurkan melalui PemProv.
Perlu di ketahui bersama, selain HMHI, di Tim Pelayanan Terpadu Hemofilia (TPTH) RSCM Jakarta yang diketuai oleh Prof. dr. Djajadiman Gatot, SpA(K) juga telah 'bergerilya' . Hasilnya cukup memuaskan. Pada Kamis (12/07) lalu, Prof. Djajadiman dan Prof. Iskandar telah mengikuti rapat untuk membahas hal tersebut. Dijelaskan oleh Prof. Djajadiman, bahwa KOATE SAAT INI TELAH KEMBALI MASUK DALAM AJUAN TABEL TAMBAHAN DALAM BUKU PETUNJUK PENATALAKSANAAN ASKESKIN DAN KEMUNGKINAN BESAR AKAN DISETUJUI DALAM WAKTU DEKAT.
Untuk Medan, mungkin perlu ditinjau kembali langkah-langkah yang telah ditempuh. Karena setelah kejadiaan ini hanya kota Medan yang mendapat perlakuan penolakan dalam pengklaiman KOATE. Info yang saya telah dapatkan, beberapa daerah termasuk Jakarta dan Surabaya hingga saat ini masih dapat mengklaim Koate hanya prosedur pengambilannya yang telah berubah. Mungkin mbak Wahyu bisa ngobrol-ngobrol lagi dengan Pak Aan dari DIPA. Mungkin ada penjelasan yang bisa didapat
Sebagai pencerahan, saya pribadi hanya ingin memberikan masukan.
dr. Agi or dr. Nova bantu jelaskan bila ada yang salah.. ya...
Walaupun Cryoprecipiatate dianyatakan tidak/kurang aman dan mengingat hanya ada 1 produsen obat FVIII yang ada di tanah air kita, ada baiknya tiap daerah tetap menjalin kerjasama dengan PMI setempat dalam pengadaan Cryoprecipitate. Banyak plus minus yang ada diantara Konsentrat dan Cryo. Tetapi semua itu bergantung pada takdir Allah SWT. Dan saya percaya itu.
Ada penelitian (beberapa telah saya kirimkan beberapa waktu lalu) menjelaskan bahwa semakin murni F VIII yang diterima, maka semakin tinggi potensi terbentuknya inhibitor pada penderita hemofilia A. Bila inhibitor telah terbentuk maka akan lebih ruwet lagi masalah pengobatannya. Begitu juga Cryo. Walaupun Cryo mudah terinfeksi penyakit lain, tapi menurut penelitian tersebut, dalam cryo banyak mengandung protein atau zat-zat lain yang dapat meredam potensi tinggi timbulnya inhibitor. Banyak kenalan hemofilia di luar negeri yang menggunakan full Cocentrate baik plasma derived (seperti koate) maupun recombinant (seperti Kogenate) yang memiliki inhibitor sangat tinggi. Di Indonesia, Inhibitor tertinggi yang pernah saya data hanyalah 15 BU (Bethesda Unit). Namun di negara-negara eropa banyak penderita hemofilia yang inhibitornya mencapai 60 BU. Nah, kalau sudah begini, konsentrat apalagi cryo sudah tidak dapat membantu. Dibutuhkan F VII A (FEIBA dan Novo Seven) yang harganyanya selangit bahkan berlangit-langit untuk mengobati hemofilia. Cara pemberiannya pun tidak mudah. Menggunakan satuan mikro gram dan digunakan 2 - 3 jam sekali suntik.
Oia... saya pernah mendapatkan ceramah panjang lebar dari salah satu orang pertama yang mengenalkan hemofilia di bumi indonesia ini, dr. Masri Rustam. Beliau pernah bilang, di Perancis pada tahun 80an pernah menangkap menteri kesehatannya dan memborgol menkes tersebut tepat saat pesawatnya landing di bandara Paris. Masalahnya: beliau harus bertanggung jawab atas konsentrat yang digunakan yang telah mengakibatkan 90 orang penderita hemofilia positif HIV.
Saya tidak bermaksud menakut-nakuti. Tapi ini realita dan membuat kita harus belajar membuka mata bahwa sekalipun manusia berusaha dan tidak ada yang perfect di dunia ini, sekali lagi.... semua hal tersebut, keputusannya ada ditangan Allah SWT...
Kita hanya bisa berusaha sekalipun harus memilih terburuk dari yang paling buruk (maksudnya: Cryo 'katanya' paling buruk namun apakah hanya karena tidak mau transfusi cryo harus menjadi cacat permanen?)
Penderita hemofilia A mestinya harus tetap bersyukur karena masih ada cryo yang masih dapat diperjuangkan bila Koate tidak ada. Tapi bagi penderita hemofilia B seperti suami saya, dimana konsentrat tidak tersedia dan FFP tidak nendang dosisnya bahkan untuk perdarahan ringan yang menyebabkan suami saya hanya bisa pasrah saat terjadi patah tulang karena kecelakaan. Seharusnya, bila melihat patahannya, mas gugun harus di operasi. Tapi dari pada patahannya nyambung trus suamiku gak ada... ya.. mendingan gak usah dioperasikan? Itu pun pilihan yang akhirnya diambil oleh dokter bedah ortopedi yang menanganinya.
LIFE IS BEAUTIFUL MY DEAREST FRIENDS... ENJOY IT WHILE YOU CAN... Jangan terus menerus dibuat pusing. Pusing boleh... tapi tetap berusaha dan berfikir jernih...
Berikut ini ada nasihat dari Robert Leung wakil WFH untuk Asia Pasifik yang saya terima beberapa waktu yang lalu dan terkadang memberikan cukup pengaruh saya dalam bertindak dan berfikir:
Best regards,
Novi Riandini
Monday, July 23, 2007
Koate VS. SK Menteri Kesehatan RI
It is strongly advised that patient groups not work closely with only one company. Even though companies will help patient groups with funds and sponsorship they are doing so in the hope that they will sell more of their product. So companies will use any method they can find to have patients buy more. It seems that this is the situation that has happened with IHS (HMHI) and the Koate (Talecris) distributor who encouraged IHS board members to use more Koate even though government policy was not official that it could be done. And when IHS members did start to use more Koate perhaps the distributor also raised his price to make more money.
Only very rich countries can afford prophylaxis and certainly not Indonesia. WFH does not advise developing countries to move to prophylaxis because it is not economically realistic for their governments to support. Countries also develop a national hemophilia treatment protocol so that all hemophilia doctors will know what treatment to prescribe including dosage. But this national treatment protocol is developed by the doctors based on the reality of the ability of the health care system to support hemophilia care. So in Canada, the concentrate amounts a patient receives based on Canada national treatment protocol is not the same as in the USA or Sweden. Above all, it should not be a company distributor who tells patients what they need and how much they should use.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment