Monday, October 1, 2007

[daarut-tauhiid] Tawadhu

Sumber:http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=8&id=3033

-->“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang – orang mukmin yang mengikutimu
(QS Asysu’ara (26) : 215)

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi orang yang tawadhu’? orang yang tawadhu’ itu adalah orang yang memiliki akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya.
Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi (HR. Al-Baihaqi)


Mawlana Sulthanul Awliya’ Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani berkata, “Mengapakah Nabi Muhammad SAW., menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi ? Karena beliau-lah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluq) Allah. Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.

Karena itulah, tak seorang pun mencapai kedudukan seperti beliau di Hadirat Ilahiah, tak seorang pun dihormati dan dipuji di Hadirat Ilahiah sebanyak penutup para Nabi, Muhammad SAW. Karena itulah, Allah SWT memberikan salam bagi beliau, dengan mengatakan : “As-Salaamu ‘Alayka Ayyuha an-Nabiyyu, “Keselamatan bagimu, wahai Nabi!
Allah SWT tidak mengatakan, “Keselamatan bagimu, wahai Muhammad. Tidak!! Melainkan,
“Keselamatan bagimu, Wahai Nabi! Dan kita kini mengulangi salam dari Allah SWT.
bagi Nabi SAW., tersebut minimal sembilan kali dalam shalat-shalat harian kita, saat kita melakukan tasyahhud.

Salam Ilahiah ini tidaklah dikaruniakan bagi siapa pun yang lain. Ini adalah puncak tertinggi suatu pujian dari Tuhan segenap alam bagi Nabi-Nya. Beliau telah mencapai suatu puncak tertinggi di mana tak seorang pun dapat mencapainya, semata karena kerendahhatiannya. Karena itu pula, beliau mewakili Keagungan Allah dalam seluruh ciptaan-Nya. Ego Sang Nabi telah habis dan berserah diri kepada Allah SWT., tak seperti kita, yang selalu terkalahkan oleh egonya sendiri. Seperti misalnya ketika penulisan nama seseorang, kita lupa tidak mencantumkan Bapak atau Ibu atau pangkat atau jabatan orang tersebut. Maka, bisa jadi orang tersebut akan marah karena merasa tidak di hormati atau tidak dihargai. Dan ini saya rasakan ketika saya mencetak kartu undangan pernikahan. Saya serahkan data-datanya ke percetakan,
setelah selesai dicetak ada satu nama yang tidak memakai bapak. Dan apa yang terjadi, yang punya nama itu marah dan tidak hadir dalam acara pernikahan tersebut karena merasa tidak dihormati atau dihargai.

Mengapa ego kita selalu saja mendominasi gerak langkah kita? Bisa jadi, karena kita membiarkan setan mengajari diri kita dengan tipu muslihatnya. Kita diajari oleh setan, bagaimana menjadi orang yang terhormat atau menjadi orang yang pertama. Dan kita juga diajari oleh setan bagaimana memiliki ego seperti egonya Fir’aun, Namrudz, Qarun dan lain sebagainya. Karena itulah, setiap orang kini ingin mewakili egonya mereka, bukan untuk mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau kita menjadi wakil sang penutup para Nabi, bukan sebagai wakil-wakilnya setan yang menyesatkan, yang kesananya akan menjerumuskan kita kedalam azabnya Allah SWT dalam neraka-Nya. Maka, untuk menjadi orang yang mewakili sang penutup para Nabi, kita harus memiliki akhlak seperti beliau, yang salah satunya adalah tawadhu’ (rendah hati). Karena sifat ini telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada beliau supaya orang-orang tidak bersikap sombong kepada yang lain, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :

Dari Iyadl bin Himar ra. Berkata Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku yaitu kamu sekalian hendaklah bersikap tawadhu’ (merendahkan diri) sehingga tidak ada seseorang bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang menganiaya yang lain.( HR. Muslim ).

Dan, Abdullah bin Jarullah dalam kitabnya Fadhlu At-Tawadhu wa Dzamu Al-Kibr memberi gambaran kepada kita tentang tanda-tanda orang yang tawadhu’, dia mengatakan bahwa ada enam tanda-tanda tawadhu’ yang harus kita miliki :

PERTAMA, engkau menonjolkan diri terhadap sesamamu, maka engkau sombong. Dan apabila
engkau menyatu dalam kebersamaan dengan mereka maka engkau tawadhu’.

KEDUA, apabila engkau berdiri dari tempat dudukmu dan mempersilahkan orang berilmu
dan berakhlaq duduk di tempatmu, maka engkau tawadhu’.

KETIGA, apabila engkau menyambut orang biasa dengan ramah dan wajah yang menyenangkan, dengan kata-kata yang akrab, memenuhi undangannya, maka engkau tawadhu’.

KEEMPAT, apabila engkau mengunjungi orang yang lebih rendah setatus sosialnya atau yang sederajat denganmu, atau membawakan barang-barang bawaan yang ada ditangannya, maka engkau tawadhu’.

KELIMA, apabila engkau mau duduk bersama fakir miskin, menjenguk yang sakit, orang-
orang yang cacat, memenuhi undangan mereka, makan bersama mereka, maka engkau orang
yang tawadhu’.

KEENAM, apabila engkau makan dan minum secara tidak berlebihan dan tidak untuk demi
gengsi, sekali lagi engkau tawadhu’.

Sahabat-sahabat sekalian, semoga tanda-tanda tawadhu’ yang seperti disebutkan di atas
dapat kita miliki, sehingga kita termasuk orang-orang yang mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW. Amiin.

Read More..

Tawadhu: Hakikat Hidup Berprestasi

ALLAH SWT adalah dzat yang Mahabesar dan hanya Dia-lah yang berhak menyatakan kebesaran Diri-Nya. Adapun segenap makhluk ciptaan-Nya adalah teramat kecil dan sama sekali tidak layak merasa diri besar. Seorang hamba yang lisannya berucap, "Allaahu Akbar!" serasa jiwanya bergetar karena sadar akan kemahabesaran-Nya, dialah orang yang menyadari kekerdilan dirinya di hadapan Dzat yang serba Maha.


Sungguh, Allah sangat suka terhadap orang yang merendahkan diri di hadapan-Nya, sehingga diangkatlah derajat kemuliannya ke tingkat yang sangat tinggi di hadapan semua makhluk, apalagi di hadapan-Nya. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk" (QS. Al-Bayyinah: 7).

Sebaliknya betapa Allah sangat murka terhadap orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS. An-Nisa: 36). Surga pun mengharamkan dirinya untuk dimasuki oleh orang-orang yang di dalam kalbunya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar debu. Segenap makhluk yang ada di alam semesta ini tiada memiliki daya dan upaya, kecuali karena karunia kekuatan dari Allah SWT? Laa haula walla quwwata illa billaah! yang menciptakan tubuh ini pun Allah. Yang mengalirkan darah dalam peredaran yang sempurna, yang mendetakkan jantung, pendek kata yang mengurus sekujur badan ini pun hanya Allah semata! Manusia sama sekali tidak berdaya sekiranya Allah menghendaki sesuatu atas jiwa dan raga ini.

Karena itu, Allah SWT mengancam manusia yang melupakan hakikat dirinya. "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi ini tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku" (QS. Al-A'raf: 146). Dalam ayat lain disebutkan, "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (QS. Al-Mu'min: 35). Ternyata rahasia hidup sukses atau sebaliknya hidup terhina dan tiada harga, tidak terlepas dari seberapa mampu seseorang menempatkan dirinya sendiri di hadapan Allah SWT. Tawadhu, inilah kunci bagi siapa saja yang ingin memiliki pribadi unggul.

Seseorang niscaya akan lebih cepat maju manakala mempunyai sifat tawadhu dan tidak sombong. Mengapa demikian? Kunci terpenting untuk sukses adalah adanya kesanggupan menyerap ilmu dan meluaskan visi, kemampuan mendengar dan menimba ilmu dari orang lain. Hal ini akan membuat kita semakin cepat melesat dibandingkan dengan orang-orang yang sombong, merasa pandai sendiri, mengganggap cukup dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga merasa diri tidak lagi membutuhkan pendapat, pandangan, dan visi dari orang lain.

Ketahuilah, kita ini adalah makhluk yang serba terbatas. Buktinya, kita tidak bisa melihat kotoran di mata atau hidung sendiri. Artinya, kita membutuhkan cermin dan alat bantu lainnya agar bisa menguji semua yang kita miliki ataupun melengkapi sesuatu yang belum kita miliki.

Islam mengajarkan kita agar tidak sombong. Kita harus berani mendengarkan segala sesuatu dari orang lain. Kita tidak dilarang untuk punya pendapat, tetapi orang lain pun tidak salah jika memiliki pendapat berbeda. Kita harus bersedia mendengarkannya, paling tidak untuk menguji pendapat kita apakah bisa dipertahankan atau tidak. Atau, bahkan untuk melengkapi pendapat kita, sehingga semakin bermutu.

Karenanya, berhati-hatilah dengan segala yang berbau kesombongan, merasa diri hebat, pemborong syurga, paling benar, paling mampu. Semua itu hanya akan mengurangi kemampuan yang ada pada diri kita. Sesungguhnya kesombongan itu akan menutup hal yang sangat fitrah dari diri manusia yaitu kemampuan melengkapi diri.

Kita harus menjadi orang yang tamak terhadap ilmu, serakah terhadap pengalaman dan wawasan. Tiap bertemu dengan orang, lihatlah kelebihannya, simaklah kemampuannya, lalu ambillah kelebihannya itu. Tentu ini tidak akan menjadikan orang tersebut bangkrut dan tidak memiliki kelebihan lagi. Sebaliknya, kemampuan orang yang kita mintai ilmunya akan semakin berkembang selain kita pun akan semakin maju.

Tidak mungkin kita ditakdirkan bertemu dengan seseorang, kecuali pasti akan menjadi ilmu dan pengalaman baru, sekiranya diri kita dilengkapi dengan hati yang bersih. Tentu yang bisa menjadi ilmu itu tidak sekedar hal-hal yang menyenangkan saja. Aneka pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti penghinaan, kritik atau cemoohan, semua ini tetap menjadi ilmu yang akan meningkatkan wawasan, kemampuan, karakter, mental ataupun keunggulan-keunggulan
lain yang bakatnya sudah kita miliki.

Adapun hal yang sangat utama dan paling menentukan bobot dari semua perilaku dan kiprah kita dalam meningkatkan kualitas dan keunggulan diri adalah hati yang bersih. Kedongkolan, kemangkelan, kejengkelan, kebencian, dan semua hal yang bisa membuat tidak nyamannya hati, jelas-jelas merupakan sikap kejiwaan yang kontraproduktif.

Kita akan banyak kehilangan waktu karena kotor hati. Kalau kita termasuk tipe pemarah serta gemar memuaskan hawa nafsu dan kedendaman, maka kita akan kehilangan waktu untuk kreatif dan produktif. Akan tetapi, sekiranya hati kita bersih dan sejuk, maka kendatipun hantaman masalah dan kesulitan datang bertubi-tubi, niscaya kita akan seperti intan yang tiada pernah hilang kilauannya sepanjang masa. Bukankah intan itu tidak akan pernah hancur wujudnya dan berkurang kilauannya kendati dihantam dengan batu bata secara bertubi-tubi,
bahkan dia sendiri yang akan hancur? Kesejukan, kebersihan, dan ketentraman hati, tidak bisa tidak, akan mempengaruhi pikiran ini menjadi lebih lebih bermanfaat dan bermakna.

Tampaknya umat Islam akan bangkit bila mampu bersinergis, saling membantu satu sama lain. Kuncinya adalah bebasnya hati dari kedengkian, dan kebusukan. Kita harus belajar senang melihat orang lain maju. Kita pun harus belajar ikut bersyukur melihat kesuksesan dan prestasi orang lain seraya membuat kita terbakar untuk bisa lebih maju lagi. Wallahu a'lam.

(KH. Abdullah Gymnastiar)


Read More..